RSS

Radarku, Radarmu

"Allahu akbar, Allahu akbar!"
Adzan Magrib berkumandang, tanda harus segera membatalkan puasa.

"Alhamdulillah."
Aku minum secukupnya, makan secukupnya, seperti rutinitas yang dilakukan orang puasa lainnya.

Tiba-tiba, ada pesan masuk. Aku meraih handphone yang ada di meja, dan membuka pesan tersebut.

"Selamat berbuka puasa." ucapnya.

Kubalas dengan biasa, dan ia bercerita tentang hari pertama puasanya.

"Puasa hari pertama, aku buka puasa sendirian." keluhnya.

Kupikir, orang-orang lain lebih beruntung daripada aku. Mereka berbuka dengan keluarga di hari pertama, makan masakan Ibunda bersama, dan menunggu waktu sholat tarawih dengan bercengkrama berdiskusi seperti yang kulakukan, atau mungkin lebih.
Dan ternyata tidak.

Banyak orang yang kupikir lebih beruntung, ternyata aku masih diberi kesempatan lebih untuk merasakan hal-hal indah.
Karenanya, aku seharusnya bersyukur.

Tak sampai disitu, pikiranku melayang sesaat membuka Instastory.

"Oh, screenshoot sebuah chat."

- Temen-temen, besok buka bersama di rumahku, ya. -

Pesan tersebut tertulis di chat salah satu temannya, yang bersyukur memiliki teman seperti dirinya.

Ya, itu dia. Dia yang berperan banyak dalam tabahnya aku di Ramadhan tahun lalu.
Beberapa tahun, aku tidak pernah berharap banyak. Hanya beberapa saat, karena aku sadar siapa aku.

Di dunia ini, di lingkunganku, di sekitarku, manusia dibeda-bedakan jenisnya. Aku dan dia, ada di jenis yang berbeda.

Kami melakukan hal yang berbeda setiap harinya, lingkungan kami memiliki perlakuan yang berbeda, hingga kebiasaan-kebiasaan di luar kebiasaanku, dia memilikinya.
Termasuk cara pikir, cara pandang, kepedulian, usaha, kerja keras, semuanya berbeda.

Dia seperti hidup dalam dimensi lain yang tak seharusnya kudalami.

Dan aku sadar, semakin sadar.

Aku sadar aku tak pernah ada dalam radarnya.

Semakin kesini, aku semakin merasa terlalu memaksa radarku untuk menyampaikan sinyal-sinyal ke dunianya.
Padahal, sinyal tersebut takkan pernah sampai karena terpaut jauhnya jarak antara dunia kami.

Dan kami memiliki frekuensi yang berbeda. Sehingga, kami tak pernah memiliki saat yang tepat untuk saling bertukar informasi melalui radar yang kami punya.

Terlalu rumit.

Perlahan, aku belajar mengikhlaskan keadaan tersebut. Meski banyak hal yang ingin aku tahu, namun kurasa sebaiknya aku tak banyak tahu.

Perlahan pula, aku mempelajari tentang siapa aku. Sehingga aku takkan melebihi batas wilayah yang sudah ditetapkan.

Aku membatasi diriku. Jujur saja.
Aku tidak ingin hal yang sama terulang. Karena ketika aku sudah terjun, sangat sulit untuk kembali pulang.

Disinilah aku.
Sedang berusaha, agar bisa pulang dengan selamat.

Dan mencoba berinteraksi dengan radar di dunia yang lain lagi, yang memiliki frekuensi sama dengan duniaku.

"Terkadang, kita hanya harus ikhlas. Ikhlas untuk setiap perpisahan, dan ikhlas untuk menerima pertemuan baru."

Ramadhan 1438 H
Tiara M, Olldry
Batu, 27 Mei 2017